Sertifikasi guru adalah cerita paling menarik di lingkungan lembaga pendidikan sekarang ini. Mulai dari pengurusan berkas untuk dapat masuk dalam long-list, lamanya menunggu panggilan untuk mengikuti Uji Kompetensi Awal (UKA) dan Pendidikan dan Pelatihan Pendidikan Guru (PLPG), menunggu Nomor Registrasi Guru (NRG) yang tidak kunjung jadi, hingga pencairan tunjangan yang tidak tepat waktu, semuanya adalah cerita hangat yang selalu menarik.
Sebegitu menariknya, para pendidik bahkan lebih antusias mendiskusikan pencairan tunjangan sertifikasi ketimbang problem pendidikan itu sendiri, semisal menangani anak ‘bermasalah’, merumuskan dan membuat perangkat pembelajaran yang aplikatif, maupun mempersiapkan diri untuk menyongsong diberlakukannya Kurikulum 2013 pada tahun 2014 ini.
Tapi cobalah mari tengok hasil penelitian Bank Dunia tentang seritifikasi guru ini. Apakah antusiasme guru dalam mendiskusikan tunjangan sertifikasi ini berbanding lurus dengan hasil pembelajaran di kelas? Apakah dana besar yang dikeluarkan negara untuk para pendidik ini sesuai dengan tingkat mutu pendidikan? Apakah setelah mereka disertifikasi, mutu pendidikan di negeri ini secara otomatis meningkat?
Dalam penelitian bertajuk ”Spending More or Spending Better : Improving Education Financing in Indonesia” yang dirilis pada Maret 2013 terungkap, tidak ada perubahan yang signifikan dalam dunia pendidikan dari kebijakan sertifikasi pendidik ini.
Hasil belajar belum sepadan dengan besarnya biaya yang dikeluarkan. Bila melihat nilai Matematika dan Bahasa Indonesia, tidak ada perbedaan mendasar antara nilai dari murid yang gurunya bersertifikat dan tidak. Baik yang diajar guru lulus sertifikasi maupun belum, hasilnya sama.
Dampak sertifikasi guru, masih menurut hasil penelitian yang melibatkan 30 ribu guru dan 90 ribu siswa ini baru berhasil memperbaiki kesejahteraan guru dan minat generasi muda menjadi guru. Selebihnya, belum terlihat.
Sebagai gambaran, tahun 2013 yang lalu dana yang dikeluarkan pemerintah untuk membayar tunjangan profesi guru mencapai lebih dari 62 triliun. Sebanyak 60 triliun disalurkan melalui anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan 2.4 triliun melalui Kementerian Agama. Lalu untuk apa negara harus mengeluarkan anggaran besar jika tidak ada hasilnya? Ini pertanyaan menyakitkan tapi penting untuk dikedepankan.
Banyak yang beranggapan bahwa ketiadaan peningkatan mutu pendidikan ini semata-mata karena kesalahan guru. Argumennya sederhana, sudah diberi tunjangan besar tetapi tidak berusaha meningkatkan kompetensi diri. Ekstrimnya, guru diberikan tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji tersebut lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang jauh dari kebutuhan peningkatan mutu profesi mereka. Seperti, setelah tunjangan profesi dibayarkan, disinyalir di bank-bank yang menerima pembayaran haji ditemukan sejumlah guru melakukan pembayaran Ongkos Naik Haji (ONH).
Ditengarai juga, beberapa guru di rumahnya ada sepeda motor baru. Memperhatikan fenomena tersebut, yang paling rasional dan mungkin untuk dilakukan adalah mendorong guru untuk menjalankan kewajibannya secara lebih optimal. Para pendidik ini harus terus-menerus diingatkan agar uang (negara) yang sudah diperolehnya harus digunakan untuk meningkatkan kinerja yang efisien demi kemajuan pendidikan.
Biarkan para guru tetap menikmati haknya untuk mendapatkan tunjangan profesi, janganlah negara memotong atau menghentikan hak tersebut. Negara (pemerintah:Kemenag) cukup melakukan kontrol dan pengawasan yang ketat melalui program-programnya. Dengan mengontrol aktivitas para pendidik ini, sudah pasti mutu pendidikan juga akan dapat ditingkatkan dan terwujudnya guru professional hanya persoalan waktu.
Pasca penerimaan tunjangan profesi, para guru harus terus menerus didorong untuk meningkatkan kompetensinya. Dan itu bisa dimulai dengan mendorong para pengawas untuk memantau sekaligus mendampinginya. Pengawas, sebagai ujung tombak pendidikan di lapangan harus mampu memberikan bimbingan teknis, dalam meningkatkan kemampuan guru untuk melakukan tugasnya, mulai dari membuat perencanaan pembelajaran, mempersiapkan materi pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dengan teknik, metode dan pendekatan yang sesuai dengan konten pembelajaran dan kondisi peserta didik, penguasaan evaluasi pembelajaran yang memenuhi kriteria penilaian yang baik secara profesional.
Para pengawas harus didorong untuk dapat menerjemahkan kebijakan yang dirumuskan Kementerian Agama (Baca: Ditjen Pendikan Islam), khususnya program-program yang dapat meningkatkan mutu guru. Ini tentu tugas berat karena meningkatkan kemampuan pengawas dengan kualifikasi di atas juga bukan persoalan mudah. Namun gagasan semacam ini akan terasa ringan manakala Pemangku Kepentingan/pejabat yang ada di Kabupaten/Kota dan Provinsi dapat memberikan treatment kepada para pengawas dengan basis pengetahuan dan komitmen yang memadai.
Kemampuan pemangku kepenting-an/pejabat di Kabupaten/Kota dan Provinsi melakukan instruksi kepada para pengawas juga sangat bergantung pada program yang dirumuskan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Direktorat Pendidikan Madrasah dan Direktorat Pendidikan Agama Islam) di tingkat pusat. Tanpa gerak bersama, keberhasilan mungkin hanya muncul di beberapa tempat saja, tergantung basis pengetahuan dan komitmen para pemangku kepentingan/pejabat di daerah masing-masing.
Menyerahkan mutu pendidikan semata-mata hanya kepada para guru, sama saja membiarkan mutu pendidikan terus berlangsung seperti sekarang. Tidak pernahkah kita bermimpi mutu pendidikan akan meningkat pada suatu hari nanti.
Demikian artikel mengenai Pasca Sertifikasi Guru dan Penerimaan Tunjangan Profesi, semoga ada manfaatnya.(Abdi Madrasah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar